PESANTREN SEBAGAI PILAR BANGSA
Pesantren sebagai salah satu
"warisan" lembaga pendidikan Islam tertua dan asli Indonesia
(indigenous) memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan bangsa.
Sudah sejak awal berdirinya, pesantren selalu terlibat dalam persoalanpersoalan
kebangsaan. Melalui kepemimpinan para ulama/kyai yang memiliki kekuatan
spiritual, iman yang teguh, keikhlasan berjuang, dan ketangguhan moral,
pesantren-pesantren yang tersebar di pedesaan-pedesaan telah berperan besar
dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia dari upaya pemecah-belahan penjajah.
Peran dan posisi seperti itu akan terus berjalan dan dilakukan oleh para ulama
sebagai perwujudan kecintaan pada tanah air, kesadaran akan perlunya kedamaian
dan perdamaian, kesetaraan nilai-nilai kemanusiaan, dan komitmen pada keutuhan
negara Indonesia sebagai bangsa yang besar, luas, dan bermartabat.
Pertemuan pimpinan Pondok Pesantren ini kami nilai sangat penting bila
dikaitkan dengan kondisi kebangsaan kita saat ini. Perkembangan demokrasi,
penegakan hak-hak asasi manusia, dan kemajuan di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan pendidikan patut kita lihat sebagai sebuah proses menuju
perbaikan. Namun, kemajuan itu tidak boleh melenakan kita bahwa hingga hari ini
Indonesia masih dililit oleh persoalan-persoalan krusial yang tak kunjung
menemukan titik penyelesaian. Merosotnya nilai-nilai moral, mulai kendornya
semangat persatuan dan kesatuan bangsa, serta menguatnya kecenderungan sebagian
kelompok masyarakat untuk menyelesaikan masalah dengan "jalan pintas"
adalah beberapa indikator merosotnya nilai-nilai kebangsaan yang dulu kita
banggakan. Sungguh memprihatinkan bahwa merosotnya nilai-nilai kebangsaan itu
dengan cepat menjangkiti berbagai lapisan masyarakat. Kondisi tersebut bila
tidak segera dicarikan solusinya, pasti akan mengarah pada timbulnya
disintegrasi bangsa dan runtuhnya sendi-sendi bangsa. Pada tataran. inilah
peran pesantren dan para kyai/ulama sangat diharapkan karena pesantren diakui
sebagai "penjaga moral" dan garda terdepan untuk memperkuat
sendi-sendi kebangsaan. Memang, pesantren tidak sendirian (dan tidak bisa
sendirian) dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit dan lebih besar
ketimbang kelembagaan pesantren itu sendiri.
PESANTREN SEBAGAI PILAR BANGSA (2)
Pesantren merupakan salah satu lembaga
pendidikan Islam di Indonesia sebagai bagian dari pendidikan nasional yang
memiliki kontribusi tidak kecil dalam pembangunan pendidikan nasional atau
kebijakan pendidikan nasional. Kontribusi pesantren yang sangat signifikan
adalah dalam proses mencerdaskan bangsa, khususnya dalam konteks perluasan
akses dan pemerataan pendidikan. Pesantren membuka akses atau kesempatan yang
lebih luas bagi masyarakat dari berbagai golongan dan tingkatan di masyarakat
dan menjangkau daerah-daerah terpencil sekalipun. Dari sejarahnya, keberadaan
pesantren mendapatkan hambatan dan tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda.
Pesantren diawasi secara sangat ketat, didiskriminasikan, dan terus dihambat
perkembangannya. Pemerintah kolonial mencurigai peran penting pondok pesantren
dalam mendorong gerakan-gerakan nasionalisme dan prokemerdekaan di Hindia
Belanda. Pemerintah Kolonial menolak eksistensi pondok pesantren dalam sistem
pendidikan yang hendak dikembangkan di Hindia Belanda. Kurikulum maupun metode
pembelajaran keagamaan yang dikembangkan di pondok pesantren bagi pemerintah
kolonial, tidak kompatibel dengan kebijakan politik etis dan modernisasi di
Hindia Belanda. Berbagai hambatan dari pemerintah kolonial inilah yang
menjelaskan mengapa pesantren berkembang di daerah-daerah pelosok dan terpencil
sebagai lembaga pendidikan yang pengelolaan maupun sumber pendanaannya berbasis
masyarakat. Oleh karena itu pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
mandiri. Kemandirian ini pun terus berkembang hingga saat ini dengan
mendapatkan perhatian yang positif dari pemerintah untuk mengembangkannya
menjadi lembaga pendidikan yang bermutu.
Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan
Islam yang Bermutu
Kebijakan dan program-program Departemen
Agama dalam rangka mengembangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
yang bermutu mengacu pada tiga pilar pembangunan pendidikan nasional. Pada
pilar pertama yaitu perluasan dan pemerataan akses, memberikan kesempatan
kepada pesantren-pesantren untuk mengembangkan lembaga pendidikannya sehingga
bisa menampung banyak santri (peserta didik), terutama dalam rangka menuntaskan
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Pada pilar kedua yaitu
peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan, menghasilkan lulusan
pesantren yang setara dengan sekolah maupun madrasah, serta memiliki
kemampuan-kemampuan seperti yang diatur oleh undang-undang tanpa mengurangi khittah
asli pesantren. Khittah pesantren adalah santrinya mampu mendalami ilmu-ilmu
keislaman. Santri di samping mendalami ilmu-ilmu keislaman kalau ingin
disetarakan dengan lulusan sekolah atau madrasah, maka harus mengikuti
kurikulum-kurikulum tertentu yang didalamnya terdapat keterampilan atau
kemampuan yang harus dimiliki. Agar pesantren memperoleh pengakuan kesetaraan
dengan lulusan madrasah atau sekolah diberikan sertifikat atau syahadah. Agar
syahadah nanti diperoleh lulusan pesantresn diakui sama, maka bukan hanya
kurikulum saja, tetapi standar-standar yang ditetapkan oleh pemerintah harus
diikuti. Pilar ketiga yaitu peningkatan tata kelola, akuntabilitas,
transparansi, dan pencitraan publik, pesantren jangan tergantung kepada orang
tetapi kepada suatu sistem. Artinya, tidak tergantung kepada seorang kiyai yang
biasanya menjadi pemimpin pesantren. Jika kiyai itu mundur atau meninggal, maka
tidak ada penerusnya. Keadaan seperti ini akan menjadikan pesantren mengalami
kemunduran. Namun jika tergantung pada sistem, hal seperti ini tidak akan
terjadi, karena jika kiyai yang menjadi pengelola pesantren itu mundur atau
meninggal, maka masih ada yang akan mengelolanya yaitu orang-orang yang sudah
ditentukan. Oleh karena itu di pesantren pun diperlukan manajemen. Dalam
manajemen ada ungkapan getting thing done threw to other, membuat sesuatu
selesai melalui orang lain. Jadi kalau seseorang ingin membuat sesuatu itu
selesai, bukan orang itu yang akan mengerjakannya tetapi orang lain. Kalau
orang itu yang mengerjakannya, bukan manajemen namanya tetapi pekerja biasa.
Kemandirian Pesantren
Meningkatkan kemandirian pesantren
berarti meningkatkan pesantren dalam ikut membangun bangsa dan ikut memperkokoh
rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa. Pesantren merupakan suatu lembaga
pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren yang dulunya suatu model pendidikan
yang digunakan oleh agama lain yaitu Budha, di mana orang-orang yang ingin
mempelajari agama tinggal di suatu tempat yang dekat dengan tokoh agamanya
sehingga bisa dibina secara intelektual maupun moral. Kemudian ketika datang
agama Islam dan meneruskan tradisi seperti itu tetapi ajarannya yang berbeda.
Ini adalah cara yang paling efektif di dalam mendidik manusia.
Ada beberapa ciri khas dari sebuah
pesantren yaitu pertama, adanya pondok. Istilah pesantren sering disebut dengan
pondok pesantren. Sebutan pondok berasal dari bahasa Arab yaitu fundug yang
berarti asrama atau hotel. Disebut pondok karena di pesantren tersebut para
santrinya bermukim atau menetap. Mereka menjalani kehidupan sehari-harinya di
pondok tersebut. Namun ada pula santri tidak menetap di pondok/asrama yang
sering disebut dengan santri kalong dan santri kelana. Santri kalong biasanya
datang ke pesantren ketika akan belajar/ngaji saja kemudian pula ke tempat
tinggalnya. Santri kelana adalah santri yang berpindah-pindah dari satu
pesantren ke pesantren lainnya untuk belajar/ngaji. Mereka menetap di pondok
agar lebih memusatkan perhatiannya dalam mempelajari kitab-kitab. Para santri
pun ingin merasakan kehidupan pesantren di sekitar kiyainya. Selain itu,
pesantren berada pada tempat yang jauh dari tempat tinggal santri, biasanya
pesantren itu berada di pedesaan. Ciri kedua, adanya kiyai yaitu gelar
kehormatan untuk orang ahli agama sekaligus mempunyai dan memimpin pesantren.
Namun ada pula tahapan yang harus ditempuh oleh seseorang agar bisa dijadikan
kiyai, yaitu dari santri muda, santri senior, asatid/guru, ustadz muda, ustadz
senior, kiyai muda, dan kiyai senior. Ketiga, adanya masjid. Masjid sebenarnya
merupakan pusat segala kegiatan. Masjid bukan hanya sebagai pusat ibadah khusus
seperti shalat dan i’tikaf tetapi sebagai tempat untuk menegakkan syariat
Islam, untuk da’wah, pengajaran memperluas wawasan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan/muamalat. Masjid untuk mencetak umat yang beriman, beribadah
menghubungkan jiwa dengan khaliq, umat yang beramal shaleh dalam kehidupan
masyarakat, pembentukan nilai-nilai akhlak yang mulia dan amaliah, menggerakkan
potensi kekuatan umat lahir dan batin. Masjid faktor penting bagi pembentukan
masyarakat Islam kuat dan rapi dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah,
dan tatanan Islam. Keempat, dipelajarinya kitab-kitab klasik, diantaranya yang
dikenal dengan kitab kuning. Disebut kitab kuning karena kertas yang digunakan
kitab-kitab pada saat itu dominannya berwarna kuning. Selain memiliki ciri
khas, pesantren pun melakukan pengajaran dengan metode khusus.
Metode pengajaran di pesantren dikenal
dengan sistem sorogan, khalaqah, atau kelas musyawarah. Sorogan merupakan metode
pengajaran yang bersifat individual. Sorogan menekankan pada keaktifan santri
untuk belajar penuh dengan kedisiplinan, ketaatan, atau kerajinan. Jika santri
telah memahamni suatu materi pelajaran bisa secara aktif mengajukan diri untuk
diperhatikan atau diuji oleh pengajarnya yaitu ustadz atau kiyainya. Metode
lainnya adalah bandongan atau weton, yaitu santri tidak belajar individual
tetapi berkelompok dalam jumlah yang banyak mendengarkan pengajar/ustadz yang
membaca, menerjemahkan, mengulas, atau menerangkan kitab. Khalaqah atau
kelompok kelas merupakan cara belajar dalam bentuk kelompok-kelompok di kelas
dipimpin oleh santri senior atau ustadznya. Sedangkan kelas musyawarah adalah
cara belajar ynag sifatnya klasikal seperti diadakannya seminar.
Pesantren bukan hanya mendidik untuk
mengembangkan kemampuan intelektualnya saja, tetapi juga kemampuan-kemampuan
lain, yaitu kemampuan emosional dan kemampuan spiritual, perilaku dan akhlak
mulianya dididik melalui sistem pesantren. Ini adalah suatu cara atau metode
pendidikan yang efektif dan bukan hanya dibuktikan oleh orang-orang Islam saja,
melainkan orang-orang modern sudah mengikuti pola-pola seperti ini. Bahkan
sekarang ada lembaga-lembaga pendidikan yang menerapkan pola seperti pesantren,
di mana peserta didiknya tinggal di suatu tempat tetapi namanya diganti dengan
nama lain, misalnya disebut dengan boarding school atau sekolah berasrama. Jadi
pesantren ini sebetulnya merupakan suatu lembaga pendidikan warisan nenek
moyang bangsa Indonesia yang perlu dipertahankan karena mengandung nilai yang
positif. Ternyata cukup efektif untuk membangun sumber daya manusia yang nanti
bisa berperan di dalam pembangunan nasional.
Jika ditelusuri tentang keberadaannya,
pesantren ini sebetulnya merupakan suatu lembaga yang bukan hanya suatu tempat
seperti pada umumnya, tetapi semuanya didirikan oleh masyarakat. Pesantren itu
biasanya dimiliki oleh kiyai atau oleh masyarakat yang berasal dari wakaf.
Bahkan pada umumnya pesantren itu tidak ada yang pengelolaannya dibantu oleh negara,
sehingga pesantren itu benar-benar suatu lembaga pendidikan yang mandiri,
tetapi memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap pembangunan pendidikan
di Indonesia. Sehingga menjadi konsep pendidikan yang dicanangkan oleh lembaga
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi bidang pendidikan dan
kebudayaan (UNESCO) yang memberikan imbauan dan anjuran bahwa setiap negara
harus menerapkan atau melaksanakan pendidikan untuk semua (education for all).
Maksudnya adalah setiap warga negara usia sekolah seharusnya tidak boleh ada
yang di luar sekolah atau madrasah. Penerapan education for all ini khusus
untuk konteks negara Indonesia, sebagai salah satu anggota PBB, diterapkan
dalam bentuk pendidikan wajib atau wajib belajar yang sedang diterapkan yaitu
wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. Jika merujuk pada
pengertian wajib dalam agama, karena dikatakan wajib belajar, maka orang yang
meninggalkan kewajibannya itu akan memperoleh siksa dari Allah swt. nantinya.
Sedangkan bagi orang yang melaksanakannya akan memperoleh pahala. Kalau wajib
belajar itu diterapkan, maka seharusnya setiap muslim wajib mengikuti
pelajaran. Bahkan menurut ajaran Islam wajib belajar itu bukan hanya sembilan
tahun, tetapi minal mahdi ilallahdi, dari buaian ibu sampai ke liang lahat
(meninggal). Namun dalam konteks pendidikan formal di negara kita, wajib
belajar itu sekurang-kurangnya masuk sekolah atau wajib hadir dan mengikuti
pendidikan di lembaga pendidikan baik itu sekolah, madrasah, atau pesantren.
Pesantren telah menunjukkan kiprahnya
bahwa dia menyediakan lembaga pendidikan untuk orang-orang yang tidak bisa
sekolah. Kalau kita melihat data statistik pada umumnya para santri ini adalah
dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Umumnya yang menengah ke atas hanya
sedikit yang mau masuk pesantren karena berbagai alasan. Hal ini terjadi karena
pada umumnya di pesantren itu tidak pernah dipungut bayaran dan orang yang
tidak mampu bisa memperoleh pendidikan dan bisa makan, yaitu dengan cara ikut
bekerja membantu kiyainya seperti mengelola agribisnis atau peternakan.
Pesantren mempunyai peran yang cukup besar di dalam rangka memandirikan orang,
dan juga memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat kalau
dikelola dengan baik. Misalnya, santri yang tidak punya biaya dia bisa belajar
di pesantren. Untuk bekal keperluan hidupnya sehari-hari di pesantren dia bisa
membantu kiyai yang kebetulan memiliki sawah, peternakan, atau usaha lain. Cara
seperti ini terbukti berhasil untuk memandirikan pesantren dan santrinya.
Sekarang pun pesantren yang dibina oleh pemerintah Departemen Agama mampu
menyelenggarakan dan menghimpun keuntungan-keuntungan yang cukup besar dari
usaha-usaha melalui kegiatan swadaya yang juga melibatkan mayarakat luas di
sekitar pesantren dan menghasilkan keuntungan yang cukup besar bisa untuk
membiayai kehidupan pesantren dan santrinya.
Pesantren sudah membuktikan bahwa
sekarang bisa memberdayakan umat sebagai upaya mengisi kemerdekaan, setelah
dahulu pun pesantren berperan memproklamasikan kemerdekaan. Jadi yang harus
dilakukan supaya pesantren-pesantren yang jumlahnya cukup banyak adalah dengan
pemberdayaan pesantren tersebut. Pemberdayaan yang dilakukan antara lain
pertama, santri-santri yang punya kemampuan tinggi diberikan kesempatan untuk
mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Santri-santri
tersebut ternyata memperoleh hasil yang luar biasa baiknya sehingga menjadi
sumber daya manusia yang bagus pula. Jadi kalau memang betul-betul mengelola
pesantren dengan baik, maka akan menghasilkan sumber daya manusia yang baik
pula. Sumber daya manusia inilah yang akan membuat Indonesia baru di masa yang
akan datang. Mereka mempunyai kemampuan intelektual yang bagus, kemampuan
keislaman yang bagus pula, dan insya Allah berakhlak mulia (akhlakul karimah).
Kedua, pesantren melatih keterampilan-keterampilan tertentu kepada santrinya
lalu menularkan keterampilan-keterampilan itu kepada pesantren lainnya,
sehingga membentuk kelompok-kelompok yang nantinya bisa memberdayakan
masyarakat sekitarnya. Ketiga menjalankan program-program pemberdayaan yang
dibina dan dibimbing oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi untuk mengembangkan
kemampuan-kemampuan santri dari aspek pengetahuan atau keterampilannya.
Kemandirian yang ditunjukan pesantren ini menjadikannya tidak memiliki
ketergantungan terhadap pemerintah. Kalaupun diberikan bantuan mereka akan
mengelolanya dengan amanah.
Untuk mewujudkan pesantren yang mandiri
dihadapkan pada suatu tantangan yang sangat berat seperti pada era globalisasi
ini. Dunia sudah tidak ada batasan-batasan lagi. Pada awalnya globalisasi hanya
pada beberapa aspek kehidupan saja yaitu food (makanan), fashion (pakaian), dan
fun (hiburan). Makanan (food) yang biasa disantap oleh orang-orang di negara
lain dengan mudah didapatkan di negara kita. Begitu pula gaya berpakaian yang
dikenakan oleh orang-orang asing yang cenderung bebas dengan cepat ditiru oleh
bangsa kita, terutama generasi muda yang memang menyukai gonta-ganti mode
pakaian. Padahal tidak sedikit mode pakaian itu yang bertentangan dengan adat
atau norma-norma yang berlaku di masyarakat atau ajaran-ajaran agama.
Tempat-tempat hiburan pun bisa ditemukan di mana-mana. Namun sekarang
globalisasi sudah merambah ke berbagai aspek kehidupan terutama yang memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi. Dalam dunia yang yang sudah global ini
perubahan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan berlangsung sangat cepat
karena pengaruh informasi yang datang silih berganti sehingga susah untuk
dikendalikan. Perubahan-perubahan itu ada yang berdampak negatif ada pula yang
positif. Dampak negatif ini dapat mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku
peserta didik ke arah yang jelek yang bertentangan dengan agama. Misalnya, gaya
hidup yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agama dan norma-norma di
masyarakat. Dampak positifnya adanya kemajuan dalam bidang sains dan teknologi.
Tantangan dan persaingan bukan hanya datang dari bangsa sendiri tetapi datang
dari bangsa lain. Oleh karena itu, jika masih terkungkung dalam tradisi-tradisi
konservatif, maka akan tertinggal. Namun bukan berarti harus mengikuti semua
kemajuan tesebut. Artinya santri-santri bukan hanya menguasai ilmu-ilmu
keislaman yang diperoleh dan dikaji dari kitab-kitab kuning saja di pondok
pesantren, tetapi juga diberikan keterampilan-keterampilan yang bersumber dari
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memanfaatkan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, asalkan tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran
Islam.
Upaya Meningkatkan Kemandirian Pesantren
Dalam rangka meningkatkan kemandirian
pesantren dalam perannya untuk kemaslahatan umat dan kesejahteraan masyarakat
sedikitnya ada tiga hal yang harus dimiliki oleh pesantren, pertama, adalah
pengembangan sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya manusia di pesantren
bukan hanya kepada pengurus, ustadz, atau kiyainya saja tetapi juga kepada para
santrinya. Tentu saja dalam bidang-bidang yang sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya. Sebagai pengelola pesantren perlu mengerti bagaimana mengatur dan
mengelola struktur organisasi/lembaga pendidikan yang bagus. Kegiatan mengelola
ini sifatnya sederhana tetapi jika tidak mengikuti konsep-konsep ilmu
pengetahuan yang baik, hasilnya belum tentu bagus. Kegiatan
pengelolaan/manajemen ini tidak ada pertentangan dengan ajaran Islam. Mengelola
itu dimulai dengan perencanaan, kemudian siapa pelakunya dan apa yang
dilakukannya. Karena tidak semua melakukannya. Alat apa yang digunakan sebagai
alat bantu dan bagaimana memanfaatkan alat-alat tersebut, inilah kegiatan pelaksanaan.
Kemudian pelaksanaan ini tidak dibiarkan begitu saja tetapi diawasi/dikontrol.
Kalau ada yang menyimpanag dalam kegiatan itu harus diluruskan lalu dievaluasi.
Jadi konsep mengelola ini sangat sederhana dan tidak ada pertentangan dengan
ajaran Islam.
Kedua, lembaga pesantren harus ditata.
Pesantren harus bisa mengantisipasi faktor-faktor apa saja yang dibutuhkan
masyarakat, seperti masyarakat membutuhkan orang-orang yang menguasai
ajaran-ajaran agama Islam. Masyarakat pun membutuhkan orang-orang yang
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang dan akan berkembang
semakin pesat sesuai dengan perkembangan jaman yang sekarang ini disebut jaman
atau era globalisasi. Oleh karena itu pesantren melakukan penataan agar santri
lulusannya mampu menguasai kebutuhan masyarakat tersebut yaitu orang yang
menguasai ajaran-ajaran Islam sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi. Untuk mewujudkan santri seperti itu maka setidaknya mereka harus
memiliki enam keterampilan yaitu, kesatu menguasai atau mempunyai kemampuan
dalam berkomunikasi lisan atau tulisan, terutama menggunakan bahasa-bahasa
asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab, sehingga memperluas wawasan dan
memudahkan melakukan interaksi dengan dunia global. Kedua, santri harus bisa
menguasai ilmu-ilmu keislaman secara teorinya agar memiliki pemahaman tentang
Islam yang kuat, teguh dan benar. Ketiga, santri menguasai ilmu-ilmu keislaman
secara prakteknya agar dapat diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari.
Keempat, santri harus bisa membaca Al Quran dengan fasih dan memahami isinya
minimal mengerti terjemahan atau artinya, karena di dalam Al Quran tersebut
terdapat semua hal yang dibutuhkan oleh manusia. Namun jika Al Quran itu tidak
dikaji, maka susah untuk menemukan makna kandungan Kitab suci tersebut. Kelima,
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia. Jika santrinya gagap teknologi maka sulit
untuk memanfaatkan potensi alam yang diciptakan untuk kemakmuran manusia ini.
Keenam, menguasai teknologi informasi dan komunikasi atau information and
communication technology (ICT), sehingga menambah dan memperluas cakrawala ilmu
pengetahuan tanpa dibatasi tempat dan waktu, baik ilmu umum atau ilmu
keagamaan. Santri-santri seperti inilah yang diharapkan oleh bangsa ini untuk
membangun dan mengubah Indonesia menjadi negara yang mandiri tidak tergantung
bantuan negara asing, sejahtera, adil, dan makmur. Mereka mampu memberdayakan
sumber daya manusia dan sumber daya alam untuk kepentingan manusia yang banyak
dilandasi dengan akhlak mulia sebagai bagian manusia rahmatan lil ‘alamiin,
manusia yang menjadi rahmat bagi alam ini. Pada akhirnya pembangunan nasional
dan hasil-hasilnya nanti selalu mendapatkan limpahan rahmat dan barokah dari
Allah swt.
Ketiga, peningkatan kemandirian dengan
melakukan upaya-upaya mencari dana melalui berbagai kegiatan seperti
agribisnis, peternakan, perdagangan, koperasi, dan sebagainya, baik yang ada di
lingkungan pesantren maupun di lingkungan sekitarnya. Kegiatan ini sangat
berguna bagi santri tidak hanya ketika tinggal di pesantren, tetapi juga dalam
kehidupan sebenarnya ketika mereka terjun di masyarakat. Kegiatan ini
memberikan jiwa dan semangat kemandirian kepada santri untuk berwirausaha atau
entrepreneurship yang mempersiapkan santri menjadi entrepreneur.
Entrepreneurship dalam proses pendidikannya membekali santri dengan berbagai
macam keterampilan (work skill) atau keterampilan hidup yang bisa memberikan
bekal yang bermanfaat untuk menghidupi dirinya sendiri dengan tidak bergantung
kepada orang lain. Dengan keterampilan kerja ini diharapkan santri mampu
menciptakan lapangan kerja sendiri yang dapat melibatkan banyak orang untuk
bekerja. Itulah salah satu hikmah dari hadits Rasulullah saw. bahwa manusia
yang baik adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Pada akhirnya, langsung atau
tidak langsung pesantren dan santrinya memberikan kontribusi yang besar dalam
proses pendidikan dan pembangunan nasional karena entrepreneurship ini
merupakan salah satu tulang punggung perekonomian suatu bangsa.
Entrepreneurship tersebut dapat menyerap tenaga kerja yang banyak untuk
mengurangi atau menghilangkan pengangguran atau kemiskinan yang masih cukup
tinggi akibat krisis ekonomi yang masih belum bisa diatasi secara keseluruhan.
Dengan memiliki jiwa dan semangat entrepreneurship menyebabnya adanya human
capital atau kemampuan sumber daya manusia yang menjadi pondasi perekonomian
negara yang kuat.
Kemandirian Santri
Santri dari berbagai pondok pesantren
dinilai kemampuannya bukan hanya di dalam membaca kitab kuning di dalam
tingkatan pengetahuan saja, tetapi berbagai tingkatan seperti memahami,
menganalisis, serta mengaplikasikan apa yang tertulis dalam kitab-kitab kuning
atau yang dituangkan oleh para pemikir Islam shalaf dalam kitab kuning itu.
Pemahaman terhadap kitab kuning adalah kemampuan yang dimiliki santri di
berbagai pondok pesantren khususnya pondok pesantren yang mengembangkan
pendidikan salafiah karena itu pemahaman kitab kuning dianggap tolok ukur
keberhasilan para santri di dalam menimba ilmu dalam pesantren. Meskipun
demikian, melihat perkembangan pesantren, meskipun pesantren salafiah tetapi
tidak hanya mengembangkan, memahami kitab kuning saja tetapi memahami
cabang-cabang ilmu pengetahuan termasuk kategori sains dan teknologi. Namun
tetap saja pemahaman kitab kuning dipandang sebagai tolok ukur keberhasilan
santri di dalam menempuh pendidikan di pesantren bahkan ketika dia kembali ke
masyarakat atau menjadi orang-orang yang membina pesantren biasanya itu menjadi
tolok ukur di dalam menilai apakah kiayi atau ustadz yang sebetulnya. Lulusan
pesantren itu menguasai ilmu agama atau tidak.
Para santri sesungguhnya dituntut
memiliki kemampuan bukan hanya memahami kitab-kitab kuning tetapi juga
menguasai dan memiliki kemampuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sekarang sedang berkembang sangat pesat. Dengan demikian kemampuan ini bisa
memberikan manfaat kepada banyak orang. Biasanya seseorang di masyarakat ukuran
kebaikannya dirujukan dari salah satu hadits yang menyatakan sebaik-baiknya
manusia adalah yang memberi manfaat kepada orang lain. Kita bisa melihat
kenyataan kiyai-kiyai zaman dulu. Dahulu kiyai-kiyai tidak hanya melayani
masyarakat mengajarkan kitab kuning semata, ketika ada warga sakit kiyai bisa
memberikan pertolongan dan memberikan pengobatan secara tradisional. Bahkan ada
keluarga yang bertengkar pun kiyai bisa memberikan konseling keluarga. Artinya
kehadiran kiayi memberikan manfaat yang komprehensif di tengah-tengah
masyarakat karena memiliki kemampuan komprehensif pula bukan hanya di bidang
agama saja tetapi bidang lainnya juga.
Santri harus benar-benar belajar di
pesantren masing-masing atau tafaqqu fiddin agar agama Islam tetap tegap
berdiri dan eksis di muka bumi. Kalau tidak ada orang-orang yang mendalami
agama kita khawatir ke depannya umat Islam ini tidak ada yang menguasai agama
Islam bahkan yang ada para tukang pidato agama yang tidak mengerti tentang
agama dalam konsep Islam. Hal ini sangat berbahaya, seperti sabda Rasulullah saw.
dalam salah satu haditsnya bahwa di akhir zaman nanti banyak tukang pidato
tentang agama yang menyesatkan dan dia pun sesat karena tidak mengerti agama
dan sedikitnya ulama. Fenomena kekhawatiran menurunnya orang-orang yang
tertarik untuk memahami agama Islam nampak juga dari sedikit sekali orang yang
tertarik tentang ilmu keislaman. Di perguruan tinggi Islam banyak mahasiswa
yang tidak mengambil ilmu yang berkaitan dengan agama. Dikhawatirkan orang yang
mempelajari ilmu itu tidak cerdas. Hal ini mengkhawatiran, sehingga Rasulullah
saw. mengingatkan dan mewanti-wanti kepada kita bahwa agama hanya untuk
orang-orang yang cerdas, karena jika orang yang tidak cerdas memahami agama
kecenderungannya akan menyesatkan, anarkis, dan liberalis.
Dalam agama Islam ilmu tanpa amal
seperti orang tidak bertulang. Betapa pentingnya akal sebagai prinsip kehidupan
dan betapa pentingnya akhlak sebagai seni kehidupan. Karena tanpa akhlak suatu
bangsa tidak akan terus eksis di permukaan bumi. Sesungguhnya sesuatu umat
tidak akan tetap eksis di permukaan bumi tanpa berakhlak mulia. Pada dasarnya
sekarang ini kunci dari dunia ini berada pada masa yang berteknologi informasi
yang dari tahun ke tahun mencapai seratus ribu kali lipat dalam dua tahun.
Kontribusi Pesantren dalam Program Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan tahun
Program wajib belajar pendidikan dasar
(wajar dikdas) sembilan tahun dilaksanakan oleh Departemen Agama dengan
mempertimbangkan kondisi dan wilayah geografis Indonesia yang sangat luas,
dengan latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi pendidikan yang heterogen.
Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun selain melalui satuan
pendidikan formal MI dan MTs juga dilakukan melalui Pondok Pesantren Salafiah
dan Pendidikan Kesetaraan (Paket A dan B). Pondok Pesantren Salafiah adalah
pesantren yang memiliki tradisi lama. Sejak pencanangan gerakan program wajib
belajar pendidikan dasar sembilan tahun melalui Inpres Nomor 1 tahun 1994,
Pondok Pesantren Salafiah telah ditetapkan sebagai salah satu pola pendidikan
dasar dengan “perlakukan tersendiri” dan penyetaraannya dengan pendidikan
dasar. Pendidikan Kesetaraan (Paket A dan B) adalah pendidikan yang disetarakan
dengan MTs. Seiring dengan dibukanya program Wajar Dikdas sembilan tahun pada
Pondok Pesantren Salafiah dan Pendidikan Kesetaraan (Paket A dan B), jumlah
Pondok Pesantren penyelenggara pendidikan kesetaraan dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Ada pula Pendidikan Kesetaraan paket C pada Pondok
Pesantren. Saat ini ada 903 Pondok Pesantren menyelenggarakan Pendidikan
Kesetaraan (Paket C) dengan jumlah santri dan warga belajar sebanyak 46.374
orang.
Di samping Pondok Pesantren Salafiah ada
pula Pondok Pesantren Mu’adalah yaitu satuan pendidikan keagamaan yang
disetarakan dengan Aliyah/SMU. Setelah lahirnya PP Nomor 55/2007 tentang
Pendidikan Agama dan Keagamaan, keberadaan Pondok Pesantren Muadalah ini akan
diarahkan menjadi Pendidikan Diniyah Menegah Atas (PDMA) yang merupaka
pendidikan keagamaan Islam format tingkat menengah. Saat ini, Pondok Pesantren
Muadalah ini dilaksanakan di 38 Pondok Pesantren di Indonesia dengan jumlah
santri peserta program muadalah sebanyak 61.744 dan dibimbing oleh 4635
guru/ustadz. Berkaitan dengan guru-guru pesantren itu sendiri terutama hak dan
kewajibannya kalau dia ingin menjadi bagian dari satu sistem pendidikan
nasional.
Pesantren Modern
Pesantren modern
merupakan satu kebijakan untuk mengembangkan kualitas pesantren. Pesantren
sebagai salah satu lembaga pendidikan turut serta mendukung perkembangan
pendidikan agama Islam yang berkualitas, yang mampu mengantarkan peserta didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berkepribadian,
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mampu mengaktualisasikan diri
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di pesantren modern
dalam sistem pembelajarannya menerapkan pendekatan integratif yaitu tidak
adanya dikhotomi ilmu agama dan ilmu umum. Selain belajar Al Quran, Kitab-kitab
dan ilmu agama lainya peserta didik pun belajar mata pelajaran lainnya atau
pelajaran-pelajaran lainnya, sehingga dapat mengaitkan ilmu-ilmu agama dengan
illmu umum atau dengan suasana kehidupan. Ada beberapa kemampuan yang
diharapkan dapat dikuasai oleh peserta didik seperti mampu berkomunikasi dalam
berbagai bahasa, minimal dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa Arab,
sehingga mampu berkomunikasi dan membaca kitab-kitab atau teks berbahasa Arab.
Selain itu, peserta didik mampu membaca dan memahami Al Quran, dan mengerti
terjemahannya. Bisa menjalankan praktek ibadah dengan baik dan benar. Kemampuan
lainnya adalah menguasai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, seperti information and communikation technology (ICT). Dengan
kemampuan-kemampuan yang dimiliki tersebut dapat memberikan bekal kepada
peserta didik berupa perilaku yang berkualitas yaitu yang memiliki sains, ilmu
pengetahuan dan teknologinya yang baik dan pemahaman dan pengamalan agama yang
taat, baik, dan benar. membutuhkan kerjasama dari semua pihak, yaitu
pemerintah, masyarakat, dan ulama, secara terencana dan berkesinambungan untuk
memperbaiki kondisi masyarakat menjadi lebih baik. Dengan cara itu
mudah-mudahan Allah SWT memberikan kekuatan kepada bangsa ini untuk keluar dari
berbagai masalah, dan menjadi bangsa yang maju.
4. Sesungguhnya pesantren memiliki
nilai-nilai keunggulan yang jarang dimiliki oleh lembaga lain. Nilai-nilai ini
masih tetap relevan dengan kondisi kebangsaan saat ini. Kemandirian adalah
salah satu nilai yang dimiliki pesantren. Berkat kemandirian itulah jumlah pesantren
mengalami peningkatan secara signifikan sejak tiga dekade terakhir. Saat ini
terdapat sekitar 13.000 pesantren yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia
yang sejatinya merupakan potensi luar biasa untuk mediasi dan kampanye
pembangunan. Selain menunjukkan tingkat keragaman pandangan pimpinan pesantren
dan independensi kyai, jumlah ini memperkuat argumen bahwa pesantren merupakan
lembaga pendidikan swasta yang sangat mandiri dan merupakan praktek pendidikan
berbasis masyarakat (community based education). Cukup banyaknya pesantren
dengan beragam corak itu juga penting ; pertama, dalam rangka realisasi gerakan
"Pendidikan Untuk Semua" (Education For All). Kedua, akselerasi wajib
belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas). Ketiga, meningkatkan Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Index) yang dituntut dalam kesepakatan berbagai
negara (termasuk Indonesia) tentang MDG (Millenium Development Goal).
5. Keberadaan pesantren sebagai salah
satu pilar bangsa ini perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan. Dalam konteks
pembangunan saat ini, pesantren perlu memiliki visi pembangunan yang jelas. Ada
berbagai macam cara yang dapat dilakukan oleh pesantren, antara lain :
a. Sebagai agen dakwah. Dakwah merupakan
misi suci yang sudah melekat dengan dunia pesantren. Akan tetapi, perkembangan
dakwah saat ini perlu direspons secara kreatif oleh pimpinan pesantren sehingga
sasaran dakwah bisa menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas dan tepat
sasaran.
b. Penyemai sumberdaya manusia (SDM)
yang tangguh dan unggul. Pesantren perlu mengembangkan pendidikan kewirausahaan
dan ketrampilan yang memadai, agar para santri mampu menghadapi masa depannya
dengan penuh optimis dan memiliki daya saing.
c. Mediator sosialisasi program
pembangunan kepada masyarakat.
d. Mengembangkan wawasan kebangsaan.
Pesantren perlu meningkatkan wawasan kebangsaan kepada para santri maupun
masyarakat lingkungannya, agar mereka dapat hidup bersama dan berdampingan
dengan berbagai kelompok masyarakat Indonesia yang multikultural, serta mampu
menebarkan rahmat bagi lingkungannya.
Demikianlah, semoga Allah SWT senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah- Nya bagi kita semua. Amin.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
PENGUATAN KEMANDIRIAN PESANTREN SEBAGAI
UPAYA MEMBANGUN BANGSA (3)
Pesantren merupakan salah satu lembaga
pendidikan Islam di Indonesia sebagai bagian dari pendidikan nasional yang
memiliki kontribusi tidak kecil dalam pembangunan pendidikan nasional atau
kebijakan pendidikan nasional. Kontribusi pesantren yang sangat signifikan adalah
dalam proses mencerdaskan bangsa, khususnya dalam konteks perluasan akses dan
pemerataan pendidikan. Pesantren membuka akses atau kesempatan yang lebih luas
bagi masyarakat dari berbagai golongan dan tingkatan di masyarakat dan
menjangkau daerah-daerah terpencil sekalipun. Dari sejarahnya, keberadaan
pesantren mendapatkan hambatan dan tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda.
Pesantren diawasi secara sangat ketat, didiskriminasikan, dan terus dihambat
perkembangannya. Pemerintah kolonial mencurigai peran penting pondok pesantren
dalam mendorong gerakan-gerakan nasionalisme dan prokemerdekaan di Hindia
Belanda. Pemerintah Kolonial menolak eksistensi pondok pesantren dalam sistem
pendidikan yang hendak dikembangkan di Hindia Belanda. Kurikulum maupun metode
pembelajaran keagamaan yang dikembangkan di pondok pesantren bagi pemerintah
kolonial, tidak kompatibel dengan kebijakan politik etis dan modernisasi di
Hindia Belanda. Berbagai hambatan dari pemerintah kolonial inilah yang
menjelaskan mengapa pesantren berkembang di daerah-daerah pelosok dan terpencil
sebagai lembaga pendidikan yang pengelolaan maupun sumber pendanaannya berbasis
masyarakat. Oleh karena itu pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
mandiri. Kemandirian ini pun terus berkembang hingga saat ini dengan
mendapatkan perhatian yang positif dari pemerintah untuk mengembangkannya
menjadi lembaga pendidikan yang bermutu.
Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan
Islam yang Bermutu
Kebijakan dan program-program Departemen
Agama dalam rangka mengembangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
yang bermutu mengacu pada tiga pilar pembangunan pendidikan nasional. Pada
pilar pertama yaitu perluasan dan pemerataan akses, memberikan kesempatan
kepada pesantren-pesantren untuk mengembangkan lembaga pendidikannya sehingga
bisa menampung banyak santri (peserta didik), terutama dalam rangka menuntaskan
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Pada pilar kedua yaitu
peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan, menghasilkan lulusan
pesantren yang setara dengan sekolah maupun madrasah, serta memiliki
kemampuan-kemampuan seperti yang diatur oleh undang-undang tanpa mengurangi
khittah asli pesantren. Khittah pesantren adalah santrinya mampu mendalami
ilmu-ilmu keislaman. Santri di samping mendalami ilmu-ilmu keislaman kalau
ingin disetarakan dengan lulusan sekolah atau madrasah, maka harus mengikuti
kurikulum-kurikulum tertentu yang didalamnya terdapat keterampilan atau
kemampuan yang harus dimiliki. Agar pesantren memperoleh pengakuan kesetaraan
dengan lulusan madrasah atau sekolah diberikan sertifikat atau syahadah. Agar
syahadah nanti diperoleh lulusan pesantresn diakui sama, maka bukan hanya
kurikulum saja, tetapi standar-standar yang ditetapkan oleh pemerintah harus
diikuti. Pilar ketiga yaitu peningkatan tata kelola, akuntabilitas,
transparansi, dan pencitraan publik, pesantren jangan tergantung kepada orang
tetapi kepada suatu sistem. Artinya, tidak tergantung kepada seorang kiyai yang
biasanya menjadi pemimpin pesantren. Jika kiyai itu mundur atau meninggal, maka
tidak ada penerusnya. Keadaan seperti ini akan menjadikan pesantren mengalami
kemunduran. Namun jika tergantung pada sistem, hal seperti ini tidak akan
terjadi, karena jika kiyai yang menjadi pengelola pesantren itu mundur atau meninggal,
maka masih ada yang akan mengelolanya yaitu orang-orang yang sudah ditentukan.
Oleh karena itu di pesantren pun diperlukan manajemen. Dalam manajemen ada
ungkapan getting thing done threw to other, membuat sesuatu selesai melalui
orang lain. Jadi kalau seseorang ingin membuat sesuatu itu selesai, bukan orang
itu yang akan mengerjakannya tetapi orang lain. Kalau orang itu yang
mengerjakannya, bukan manajemen namanya tetapi pekerja biasa.
Kemandirian Pesantren
Meningkatkan kemandirian pesantren berarti
meningkatkan pesantren dalam ikut membangun bangsa dan ikut memperkokoh rasa
cinta terhadap tanah air dan bangsa. Pesantren merupakan suatu lembaga
pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren yang dulunya suatu model pendidikan
yang digunakan oleh agama lain yaitu Budha, di mana orang-orang yang ingin
mempelajari agama tinggal di suatu tempat yang dekat dengan tokoh agamanya
sehingga bisa dibina secara intelektual maupun moral. Kemudian ketika datang
agama Islam dan meneruskan tradisi seperti itu tetapi ajarannya yang berbeda.
Ini adalah cara yang paling efektif di dalam mendidik manusia.
Ada beberapa ciri khas dari sebuah
pesantren yaitu pertama, adanya pondok. Istilah pesantren sering disebut dengan
pondok pesantren. Sebutan pondok berasal dari bahasa Arab yaitu fundug yang
berarti asrama atau hotel. Disebut pondok karena di pesantren tersebut para
santrinya bermukim atau menetap. Mereka menjalani kehidupan sehari-harinya di
pondok tersebut. Namun ada pula santri tidak menetap di pondok/asrama yang
sering disebut dengan santri kalong dan santri kelana. Santri kalong biasanya
datang ke pesantren ketika akan belajar/ngaji saja kemudian pula ke tempat
tinggalnya. Santri kelana adalah santri yang berpindah-pindah dari satu
pesantren ke pesantren lainnya untuk belajar/ngaji. Mereka menetap di pondok
agar lebih memusatkan perhatiannya dalam mempelajari kitab-kitab. Para santri
pun ingin merasakan kehidupan pesantren di sekitar kiyainya. Selain itu,
pesantren berada pada tempat yang jauh dari tempat tinggal santri, biasanya
pesantren itu berada di pedesaan. Ciri kedua, adanya kiyai yaitu gelar
kehormatan untuk orang ahli agama sekaligus mempunyai dan memimpin pesantren.
Namun ada pula tahapan yang harus ditempuh oleh seseorang agar bisa dijadikan
kiyai, yaitu dari santri muda, santri senior, asatid/guru, ustadz muda, ustadz
senior, kiyai muda, dan kiyai senior. Ketiga, adanya masjid. Masjid sebenarnya
merupakan pusat segala kegiatan. Masjid bukan hanya sebagai pusat ibadah khusus
seperti shalat dan i’tikaf tetapi sebagai tempat untuk menegakkan syariat
Islam, untuk da’wah, pengajaran memperluas wawasan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan/muamalat. Masjid untuk mencetak umat yang beriman, beribadah
menghubungkan jiwa dengan khaliq, umat yang beramal shaleh dalam kehidupan
masyarakat, pembentukan nilai-nilai akhlak yang mulia dan amaliah, menggerakkan
potensi kekuatan umat lahir dan batin. Masjid faktor penting bagi pembentukan
masyarakat Islam kuat dan rapi dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah,
dan tatanan Islam. Keempat, dipelajarinya kitab-kitab klasik, diantaranya yang
dikenal dengan kitab kuning. Disebut kitab kuning karena kertas yang digunakan
kitab-kitab pada saat itu dominannya berwarna kuning. Selain memiliki ciri
khas, pesantren pun melakukan pengajaran dengan metode khusus.
Metode pengajaran di pesantren dikenal
dengan sistem sorogan, khalaqah, atau kelas musyawarah. Sorogan merupakan
metode pengajaran yang bersifat individual. Sorogan menekankan pada keaktifan
santri untuk belajar penuh dengan kedisiplinan, ketaatan, atau kerajinan. Jika
santri telah memahamni suatu materi pelajaran bisa secara aktif mengajukan diri
untuk diperhatikan atau diuji oleh pengajarnya yaitu ustadz atau kiyainya.
Metode lainnya adalah bandongan atau weton, yaitu santri tidak belajar
individual tetapi berkelompok dalam jumlah yang banyak mendengarkan
pengajar/ustadz yang membaca, menerjemahkan, mengulas, atau menerangkan kitab.
Khalaqah atau kelompok kelas merupakan cara belajar dalam bentuk
kelompok-kelompok di kelas dipimpin oleh santri senior atau ustadznya.
Sedangkan kelas musyawarah adalah cara belajar ynag sifatnya klasikal seperti
diadakannya seminar.
Pesantren bukan hanya mendidik untuk
mengembangkan kemampuan intelektualnya saja, tetapi juga kemampuan-kemampuan
lain, yaitu kemampuan emosional dan kemampuan spiritual, perilaku dan akhlak
mulianya dididik melalui sistem pesantren. Ini adalah suatu cara atau metode
pendidikan yang efektif dan bukan hanya dibuktikan oleh orang-orang Islam saja,
melainkan orang-orang modern sudah mengikuti pola-pola seperti ini. Bahkan
sekarang ada lembaga-lembaga pendidikan yang menerapkan pola seperti pesantren,
di mana peserta didiknya tinggal di suatu tempat tetapi namanya diganti dengan
nama lain, misalnya disebut dengan boarding school atau sekolah berasrama. Jadi
pesantren ini sebetulnya merupakan suatu lembaga pendidikan warisan nenek
moyang bangsa Indonesia yang perlu dipertahankan karena mengandung nilai yang
positif. Ternyata cukup efektif untuk membangun sumber daya manusia yang nanti
bisa berperan di dalam pembangunan nasional.
Jika ditelusuri tentang keberadaannya,
pesantren ini sebetulnya merupakan suatu lembaga yang bukan hanya suatu tempat
seperti pada umumnya, tetapi semuanya didirikan oleh masyarakat. Pesantren itu
biasanya dimiliki oleh kiyai atau oleh masyarakat yang berasal dari wakaf.
Bahkan pada umumnya pesantren itu tidak ada yang pengelolaannya dibantu oleh
negara, sehingga pesantren itu benar-benar suatu lembaga pendidikan yang
mandiri, tetapi memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap pembangunan
pendidikan di Indonesia. Sehingga menjadi konsep pendidikan yang dicanangkan
oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi bidang pendidikan
dan kebudayaan (UNESCO) yang memberikan imbauan dan anjuran bahwa setiap negara
harus menerapkan atau melaksanakan pendidikan untuk semua (education for all).
Maksudnya adalah setiap warga negara usia sekolah seharusnya tidak boleh ada
yang di luar sekolah atau madrasah. Penerapan education for all ini khusus
untuk konteks negara Indonesia, sebagai salah satu anggota PBB, diterapkan
dalam bentuk pendidikan wajib atau wajib belajar yang sedang diterapkan yaitu
wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. Jika merujuk pada
pengertian wajib dalam agama, karena dikatakan wajib belajar, maka orang yang
meninggalkan kewajibannya itu akan memperoleh siksa dari Allah swt. nantinya.
Sedangkan bagi orang yang melaksanakannya akan memperoleh pahala. Kalau wajib
belajar itu diterapkan, maka seharusnya setiap muslim wajib mengikuti
pelajaran. Bahkan menurut ajaran Islam wajib belajar itu bukan hanya sembilan
tahun, tetapi minal mahdi ilallahdi, dari buaian ibu sampai ke liang lahat
(meninggal). Namun dalam konteks pendidikan formal di negara kita, wajib
belajar itu sekurang-kurangnya masuk sekolah atau wajib hadir dan mengikuti
pendidikan di lembaga pendidikan baik itu sekolah, madrasah, atau pesantren.
Pesantren telah menunjukkan kiprahnya
bahwa dia menyediakan lembaga pendidikan untuk orang-orang yang tidak bisa
sekolah. Kalau kita melihat data statistik pada umumnya para santri ini adalah
dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Umumnya yang menengah ke atas hanya
sedikit yang mau masuk pesantren karena berbagai alasan. Hal ini terjadi karena
pada umumnya di pesantren itu tidak pernah dipungut bayaran dan orang yang
tidak mampu bisa memperoleh pendidikan dan bisa makan, yaitu dengan cara ikut
bekerja membantu kiyainya seperti mengelola agribisnis atau peternakan.
Pesantren mempunyai peran yang cukup besar di dalam rangka memandirikan orang,
dan juga memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat kalau
dikelola dengan baik. Misalnya, santri yang tidak punya biaya dia bisa belajar
di pesantren. Untuk bekal keperluan hidupnya sehari-hari di pesantren dia bisa
membantu kiyai yang kebetulan memiliki sawah, peternakan, atau usaha lain. Cara
seperti ini terbukti berhasil untuk memandirikan pesantren dan santrinya.
Sekarang pun pesantren yang dibina oleh pemerintah Departemen Agama mampu
menyelenggarakan dan menghimpun keuntungan-keuntungan yang cukup besar dari
usaha-usaha melalui kegiatan swadaya yang juga melibatkan mayarakat luas di
sekitar pesantren dan menghasilkan keuntungan yang cukup besar bisa untuk
membiayai kehidupan pesantren dan santrinya.
Pesantren sudah membuktikan bahwa
sekarang bisa memberdayakan umat sebagai upaya mengisi kemerdekaan, setelah
dahulu pun pesantren berperan memproklamasikan kemerdekaan. Jadi yang harus
dilakukan supaya pesantren-pesantren yang jumlahnya cukup banyak adalah dengan
pemberdayaan pesantren tersebut. Pemberdayaan yang dilakukan antara lain
pertama, santri-santri yang punya kemampuan tinggi diberikan kesempatan untuk
mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Santri-santri
tersebut ternyata memperoleh hasil yang luar biasa baiknya sehingga menjadi
sumber daya manusia yang bagus pula. Jadi kalau memang betul-betul mengelola
pesantren dengan baik, maka akan menghasilkan sumber daya manusia yang baik
pula. Sumber daya manusia inilah yang akan membuat Indonesia baru di masa yang
akan datang. Mereka mempunyai kemampuan intelektual yang bagus, kemampuan
keislaman yang bagus pula, dan insya Allah berakhlak mulia (akhlakul karimah).
Kedua, pesantren melatih keterampilan-keterampilan tertentu kepada santrinya lalu
menularkan keterampilan-keterampilan itu kepada pesantren lainnya, sehingga
membentuk kelompok-kelompok yang nantinya bisa memberdayakan masyarakat
sekitarnya. Ketiga menjalankan program-program pemberdayaan yang dibina dan
dibimbing oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi untuk mengembangkan
kemampuan-kemampuan santri dari aspek pengetahuan atau keterampilannya.
Kemandirian yang ditunjukan pesantren ini menjadikannya tidak memiliki
ketergantungan terhadap pemerintah. Kalaupun diberikan bantuan mereka akan
mengelolanya dengan amanah.
Untuk mewujudkan pesantren yang mandiri
dihadapkan pada suatu tantangan yang sangat berat seperti pada era globalisasi
ini. Dunia sudah tidak ada batasan-batasan lagi. Pada awalnya globalisasi hanya
pada beberapa aspek kehidupan saja yaitu food (makanan), fashion (pakaian), dan
fun (hiburan). Makanan (food) yang biasa disantap oleh orang-orang di negara
lain dengan mudah didapatkan di negara kita. Begitu pula gaya berpakaian yang
dikenakan oleh orang-orang asing yang cenderung bebas dengan cepat ditiru oleh
bangsa kita, terutama generasi muda yang memang menyukai gonta-ganti mode
pakaian. Padahal tidak sedikit mode pakaian itu yang bertentangan dengan adat
atau norma-norma yang berlaku di masyarakat atau ajaran-ajaran agama. Tempat-tempat
hiburan pun bisa ditemukan di mana-mana. Namun sekarang globalisasi sudah
merambah ke berbagai aspek kehidupan terutama yang memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi. Dalam dunia yang yang sudah global ini perubahan yang
terjadi dalam berbagai aspek kehidupan berlangsung sangat cepat karena pengaruh
informasi yang datang silih berganti sehingga susah untuk dikendalikan.
Perubahan-perubahan itu ada yang berdampak negatif ada pula yang positif.
Dampak negatif ini dapat mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku peserta didik
ke arah yang jelek yang bertentangan dengan agama. Misalnya, gaya hidup yang
tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agama dan norma-norma di masyarakat. Dampak
positifnya adanya kemajuan dalam bidang sains dan teknologi. Tantangan dan
persaingan bukan hanya datang dari bangsa sendiri tetapi datang dari bangsa
lain. Oleh karena itu, jika masih terkungkung dalam tradisi-tradisi
konservatif, maka akan tertinggal. Namun bukan berarti harus mengikuti semua
kemajuan tesebut. Artinya santri-santri bukan hanya menguasai ilmu-ilmu
keislaman yang diperoleh dan dikaji dari kitab-kitab kuning saja di pondok
pesantren, tetapi juga diberikan keterampilan-keterampilan yang bersumber dari
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memanfaatkan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, asalkan tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran
Islam.
Santri dari berbagai pondok pesantren
dinilai kemampuannya bukan hanya di dalam membaca kitab kuning di dalam
tingkatan pengetahuan saja, tetapi berbagai tingkatan seperti memahami,
menganalisis, serta mengaplikasikan apa yang tertulis dalam kitab-kitab kuning
atau yang dituangkan oleh para pemikir Islam shalaf dalam kitab kuning itu.
Pemahaman terhadap kitab kuning adalah kemampuan yang dimiliki santri di berbagai
pondok pesantren khususnya pondok pesantren yang mengembangkan pendidikan
salafiah karena itu pemahaman kitab kuning dianggap tolok ukur keberhasilan
para santri di dalam menimba ilmu dalam pesantren. Meskipun demikian, melihat
perkembangan pesantren, meskipun pesantren salafiah tetapi tidak hanya
mengembangkan, memahami kitab kuning saja tetapi memahami cabang-cabang ilmu
pengetahuan termasuk kategori sains dan teknologi. Namun tetap saja pemahaman
kitab kuning dipandang sebagai tolok ukur keberhasilan santri di dalam menempuh
pendidikan di pesantren bahkan ketika dia kembali ke masyarakat atau menjadi
orang-orang yang membina pesantren biasanya itu menjadi tolok ukur di dalam
menilai apakah kiayi atau ustadz yang sebetulnya. Lulusan pesantren itu menguasai
ilmu agama atau tidak.
Para santri sesungguhnya dituntut
memiliki kemampuan bukan hanya memahami kitab-kitab kuning tetapi juga
menguasai dan memiliki kemampuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sekarang sedang berkembang sangat pesat. Dengan demikian kemampuan ini bisa
memberikan manfaat kepada banyak orang. Biasanya seseorang di masyarakat ukuran
kebaikannya dirujukan dari salah satu hadits yang menyatakan sebaik-baiknya
manusia adalah yang memberi manfaat kepada orang lain. Kita bisa melihat
kenyataan kiyai-kiyai zaman dulu. Dahulu kiyai-kiyai tidak hanya melayani
masyarakat mengajarkan kitab kuning semata, ketika ada warga sakit kiyai bisa
memberikan pertolongan dan memberikan pengobatan secara tradisional. Bahkan ada
keluarga yang bertengkar pun kiyai bisa memberikan konseling keluarga. Artinya
kehadiran kiayi memberikan manfaat yang komprehensif di tengah-tengah
masyarakat karena memiliki kemampuan komprehensif pula bukan hanya di bidang
agama saja tetapi bidang lainnya juga.
Santri harus benar-benar belajar di
pesantren masing-masing atau tafaqqu fiddin agar agama Islam tetap tegap
berdiri dan eksis di muka bumi. Kalau tidak ada orang-orang yang mendalami
agama kita khawatir ke depannya umat Islam ini tidak ada yang menguasai agama Islam
bahkan yang ada para tukang pidato agama yang tidak mengerti tentang agama
dalam konsep Islam. Hal ini sangat berbahaya, seperti sabda Rasulullah saw.
dalam salah satu haditsnya bahwa di akhir zaman nanti banyak tukang pidato
tentang agama yang menyesatkan dan dia pun sesat karena tidak mengerti agama
dan sedikitnya ulama. Fenomena kekhawatiran menurunnya orang-orang yang
tertarik untuk memahami agama Islam nampak juga dari sedikit sekali orang yang
tertarik tentang ilmu keislaman. Di perguruan tinggi Islam banyak mahasiswa
yang tidak mengambil ilmu yang berkaitan dengan agama. Dikhawatirkan orang yang
mempelajari ilmu itu tidak cerdas. Hal ini mengkhawatiran, sehingga Rasulullah
saw. mengingatkan dan mewanti-wanti kepada kita bahwa agama hanya untuk orang-orang
yang cerdas, karena jika orang yang tidak cerdas memahami agama
kecenderungannya akan menyesatkan, anarkis, dan liberalis.
Dalam agama Islam ilmu tanpa amal
seperti orang tidak bertulang. Betapa pentingnya akal sebagai prinsip kehidupan
dan betapa pentingnya akhlak sebagai seni kehidupan. Karena tanpa akhlak suatu
bangsa tidak akan terus eksis di permukaan bumi. Sesungguhnya sesuatu umat
tidak akan tetap eksis di permukaan bumi tanpa berakhlak mulia. Pada dasarnya
sekarang ini kunci dari dunia ini berada pada masa yang berteknologi informasi
yang dari tahun ke tahun mencapai seratus ribu kali lipat dalam dua tahun.
Kontribusi Pesantren dalam Program Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan tahun
Program wajib belajar pendidikan dasar
(wajar dikdas) sembilan tahun dilaksanakan oleh Departemen Agama dengan
mempertimbangkan kondisi dan wilayah geografis Indonesia yang sangat luas,
dengan latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi pendidikan yang heterogen.
Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun selain melalui satuan
pendidikan formal MI dan MTs juga dilakukan melalui Pondok Pesantren Salafiah
dan Pendidikan Kesetaraan (Paket A dan B). Pondok Pesantren Salafiah adalah
pesantren yang memiliki tradisi lama. Sejak pencanangan gerakan program wajib
belajar pendidikan dasar sembilan tahun melalui Inpres Nomor 1 tahun 1994,
Pondok Pesantren Salafiah telah ditetapkan sebagai salah satu pola pendidikan
dasar dengan “perlakukan tersendiri” dan penyetaraannya dengan pendidikan
dasar. Pendidikan Kesetaraan (Paket A dan B) adalah pendidikan yang disetarakan
dengan MTs. Seiring dengan dibukanya program Wajar Dikdas sembilan tahun pada
Pondok Pesantren Salafiah dan Pendidikan Kesetaraan (Paket A dan B), jumlah
Pondok Pesantren penyelenggara pendidikan kesetaraan dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Ada pula Pendidikan Kesetaraan paket C pada Pondok
Pesantren. Saat ini ada 903 Pondok Pesantren menyelenggarakan Pendidikan
Kesetaraan (Paket C) dengan jumlah santri dan warga belajar sebanyak 46.374
orang.
Di samping Pondok Pesantren Salafiah ada
pula Pondok Pesantren Mu’adalah yaitu satuan pendidikan keagamaan yang
disetarakan dengan Aliyah/SMU. Setelah lahirnya PP Nomor 55/2007 tentang
Pendidikan Agama dan Keagamaan, keberadaan Pondok Pesantren Muadalah ini akan
diarahkan menjadi Pendidikan Diniyah Menegah Atas (PDMA) yang merupaka
pendidikan keagamaan Islam format tingkat menengah. Saat ini, Pondok Pesantren
Muadalah ini dilaksanakan di 38 Pondok Pesantren di Indonesia dengan jumlah
santri peserta program muadalah sebanyak 61.744 dan dibimbing oleh 4635
guru/ustadz. Berkaitan dengan guru-guru pesantren itu sendiri terutama hak dan
kewajibannya kalau dia ingin menjadi bagian dari satu sistem pendidikan
nasional.
Pesantren Modern
Pesantren modern merupakan satu
kebijakan untuk mengembangkan kualitas pesantren. Pesantren sebagai salah satu
lembaga pendidikan turut serta mendukung perkembangan pendidikan agama Islam
yang berkualitas, yang mampu mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berkepribadian, menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Di pesantren modern dalam sistem
pembelajarannya menerapkan pendekatan integratif yaitu tidak adanya dikhotomi
ilmu agama dan ilmu umum. Selain belajar Al Quran, Kitab-kitab dan ilmu agama
lainya peserta didik pun belajar mata pelajaran lainnya atau
pelajaran-pelajaran lainnya, sehingga dapat mengaitkan ilmu-ilmu agama dengan
illmu umum atau dengan suasana kehidupan. Ada beberapa kemampuan yang
diharapkan dapat dikuasai oleh peserta didik seperti mampu berkomunikasi dalam
berbagai bahasa, minimal dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa Arab,
sehingga mampu berkomunikasi dan membaca kitab-kitab atau teks berbahasa Arab.
Selain itu, peserta didik mampu membaca dan memahami Al Quran, dan mengerti
terjemahannya. Bisa menjalankan praktek ibadah dengan baik dan benar. Kemampuan
lainnya adalah menguasai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, seperti information and communikation technology (ICT). Dengan
kemampuan-kemampuan yang dimiliki tersebut dapat memberikan bekal kepada
peserta didik berupa perilaku yang berkualitas yaitu yang memiliki sains, ilmu
pengetahuan dan teknologinya yang baik dan pemahaman dan pengamalan agama yang
taat, baik, dan benar.
Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren
Pesantren sebagai salah satu sub
sistem Pendidikan Nasional yang indigenous Indonesia, mempunyai keunggulan dan
karakteristik khusus dalam mengaplikasikan pendidikan karakter bagi anak
didiknya (santri). Hal itu karena :
Adanya Jiwa dan Falsafah.v
Pesantren mempunyai jiwa dan falsafah
yang ditanamkan kepada anak didiknya. Jiwa dan falsafah inilah yang akan
menjamin kelangsungan sebuah lembaga pendidikan bahkan menjadi motor
penggeraknya menuju kemajuan di masa depan.
Ada Panca Jiwa yang terdiri dari :
1. Keikhlasan
2. Kesederhanaan
3. Kemandirian
4. Ukhuwah Islamiyah dan
5. Kebebasan dalam menentukan lapangan
perjuangan dan kehidupan
Panca jiwa ini menjadi landasan ideal
bagi semua gerak langkah pesantren.
Pesantren juga mempunyai falsafah yang
menjadi mutiara hikmah bagi seluruh penghuni pesantren. Diantaranya ada
Falsaafah kelembagaan, seperti :
1. Pondok adalah lapangan perjuangan,
bukan lapangan penghidupan.
2. Hidupilah Pondok, dan jangan
menggantungkan hidup kepada Pondok.
3. Pondok adalah tempat ibadah dan
thalabul ‘ilmi.
4. Pondok berdiri di atas dan untuk
semua golongan.
Berikutnya adalah falsafah pendidikan,
seperti :
1. Apa yang dilihat, didengar,
dirasakan, dan dikerjakan oleh santri sehari-hari adalah pendidikan
2. Hidup sekali, hiduplah yang berarti.
3. Berani hidup tak takut mati, takut
mati, jangan hidup, takut hidup mati saja.
4. Berjasalah, tetapi jangan minta jasa.
5. Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi sesamanya.
6. Hanya orang penting yang tahu
kepentingan, dan hanya pejuang yang tahu arti perjuangan.
Sedang diantara falsafah pembelajarannya
adalah :
1. Metode lebih penting daripada materi,
guru lebih penting daripada metode, jiwa guru lebih penting daripada guru itu
sendiri.
2. Pondok memberikan kail, tidak memberi
ikan.
3. Ujian untuk belajar, bukan belajar
untuk ujian.
4. Ilmu bukan untuk ilmu, tetapi ilmu
untuk amal dan ibadah.